Kisah ini sungguh tak layak hanya sekadar menjadi obrolan. Mungkin sedikit lebih baik digunakan sebagi bahan renungan. Renungan panjang ...
Ini tentang Kadijah. Gadis 6 tahun itu tak kuasa menahan rindu kepada ibunya yang telah meninggal dunia. Entah dorongan apa yang membuat ia menulis surat untuk ibu tercintanya itu. Trus, bagaimana ia menulis alamat?
Sederhana saja, “Untuk ibu Kadijah di surga”. Begitulah ia menuliskan alamat di amplop suratnya. Lalu, ia masukkan di kotak pos tak jauh dari rumahnya.
Sungguh mukjijat! Sepekan kemudian, Kadijah menerina surat balasan dari Ibunya. Oh … alangkah gembiranya. Sebagaimana tingkah anak-anak lain, Kadijah melonjak-lonjak kegirangan. Surat itu diciuminya berkali-kali. Barangkali demikianlah logika anak. Ia tak memikirkan -masuk akal atau tidak- ibunya dapat berkirim surat dari tempatnya yang baru. Sama tak masuk akalnya bagaimana surat darinya dapat terkirim ke alam sana.
Kenyataannya, surat itu bukan hanya pertama ia terima. Setiap pekan, dua atau tiga kali ibu dan anak itu saling bersuratan. Walau sering menggunakan perangko bekas, banyak hal diceritakan Kadijah kepada ibunya. Ia mengadukanm teman-temannya yang nakal. Ia juga mengeluh tangannya tersundut api ketika menggoreng telor buat sarapan ayahnya.
Demikian juga, ibunya di surga –melalui surat juga- selalu membimbing Kadijah. Ibu tercinta itu mengajarinya hampir dalam semua hal, bukan hanya cara membuat sarapan atau cara pasang pita rambut dan tali sepatu, tapi juga membantu mengerjakan PR. Dan, hal itu berlangsung dalam waktu panjang, tanpa diketahui oleh orang lain.
Tiga tahun kemudian, seorang wanita mendatangi rumah Kadijah. Kedatangan itu sangat mengejutkan semua orang. Pasalnya, wanita cantik itu mengaku tak dapat menahan rindu kepada Kadijah. Pasal yang lain adalah, ia mengaku sebagai ibu Kadijah. Ibunya? Buktinya apa?
"Otak dapat bicara apa saja. Tapi, hati siapapun pasti tak dapat memungkiri hal ini," katanya, "Ia adalah anaku!" lanjutnya sambil menujukkan setumpuk barang bukti. Yaitu, 232 surat dari Kadijah! Lho, kok?
Katijah pun sangat percaya. Bahwa wanita yang tinggal di surga akan makin bertambah cantik. Kadijah meyakini hal itu. Cantik wajahnya, cantik pula hatinya. Padahal, wanita lajang berusia 23 tahun itu karyawati kantor pos setempat. Tapi, Kadijah tak peduli ...surga itu ada di mana ... di akhirat atau di kantor pos!
With Love, Whienda.
Kisah luar biasa. Saya membayangkan, waktu menyortir surat, seorang petugas pos tersebut mendapati keanehan dalam penulisan alamatnya. Kemudian wanita petugas pos wanita itu mengirim surat balasan kepada Kadijah. Demkian terus menerus terjadi saling berkirim surat.
BalasHapusBagaimanapun, wanita petugas kantor pos tersebut telah sangat membantu Kodijah dalam melepaskan kerinduannya, menyalurkan uneg-unegnya dan membantu Kadijah agar bisa mandiri.
@ Bang Erik:
BalasHapusWhienda mencoba merenungi, Bang! Selama tiga tahun si wanita berkonflik dengan dirinya sendiri. Dia, 23 tahun, cantik, belum menikah ... harus punya anak si Kadijah! Waduh, susyah, deh ..ngebayanginnya!
Terimakasih, Bang!
(maaf) izin mengamankan KETIGA dulu. Boleh kan?!
BalasHapusSama dengan Bang Erik. Tetapi kita harus juga menyadari bahwa yang demikian ini gak baik buat psikologis anak. Harusnya kita bisa memberika pengertian sedikikit demi sedikit bahwa perpisahan adalah sesuatu yang mutlak dan harus diterima.
huhuu...ceritamu bikin aku sedih whin, gmana anak2ku nanti ya kalo aku udah ga ada dideket mereka..?? hiks2, untuk mereka rasanya aku mau hidup 1000 tahun lagi...
BalasHapus