Daku sependapat banget dengan komentar para senior di blog-ku. Mendoakan orang agar berumur panjang, tentu saja dengan harapan positip. Yaitu, agar kesempatan memaknai hidup (baik bagi diri sendiri dan orang lain) jadi makin panjang. "Ya, itu bagi orang lain. Bagi Papa ... yang telah tak berdaya dan sakit-sakitan, .. apa yang dapat kulakukan? tanya Papa.
"Setidaknya, kini giliran Papa menikmati hidup ... setelah lelah kaki berjalan" jawabku sekenanya.
Papa menarik nafas. Lalu meraih sebuah buku di buffet. Dari buku itu ia mengambil secarik kertas dan diberikan kepadaku. "Iqro' ... bacalah!"
Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan, bahkan dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.(Al Baqarah 2:96)
Daku tercenung. Lagi-lagi daku harus mengakui bahwa daku belum layak jadi sparing partner untuk "berantem" dengan Papa. Guratan-guratan di dahinya bukan sekadar pertanda kerentaan usia. Tetapi bahwa, dibalik dahi itu ada otak yang menyimpan banyak garam, yang pahit dan yang manis, serta segudang referensi.
Di penghujung abad ke duabelas, dalam suasana kekhalifahan yang mementingkan pendidikan, membuka kesempatan bagi pemuda-pemuda muslim yang hebat. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Muhammad Ibnu Musa untuk mendedikasikan waktunya di Bait al-Hikmah, Baghdad. Dedikasnya di bidang pendidikan membuat ia berhasil menyusun daftar logaritma dalam sebuah tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus, tangen, kotangen serta konsep diferensiasi. Salah satu bukunya Al-Jabr Wal Muqabala merupakan rujukan penting pendidikan di berbagai dunia hingga kini. Tak salah jika dunia memberi gelar Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi sebagi Bapak Aljabar dan Logaritma. Ia pulalah orang pertama yang berhasil menentukan ukuran dan bentuk bumi yang kemudian kita kenal sebagai Globe.
"Saya semakin yakin bahwa tidak ada cara lain untuk mendapatkan hidayah dan mendekatkan diri pada Tuhan, kecuali dengan menuntut ilmu dan mengamalkannya bagi orang lain" Demikian, keyakinan si jenius yang meninggal pada tahun 850 H ini.
"Papa, Whienda pikir ... besar atau kecil kontribusi kita kepada masyarakat, bukan diukur dengan Ibnu Sina atau Muhammad Ibnu Musa ... tetapi seberapa gigih seseorang telah berusaha mengerahkan seluruh kemampuannya ..."
Lagi-lagi Papa menarik nafas. Tapi, kali ini seperti menarik semua yang akan ia ucapkan. Ia memang biasa begitu. Dia selalu tahu apa yang ia katakan, tetapi tidak selalu mengatakan semua yang ia tahu ...
Maka, tetaplah aku tidak tahu ... jawabanku tadi benar atau salah ...
With Love. Whienda.
Hidup itu bagai sebuah jalan panjang, terkadang kita menemui sebuah persimpangan yg kita ragu utk berbelok kemana. Rasanya kita gak boleh ngerasa takut, kalau kita mengerti bhw semua urusan memang sdh diatur oleh Nya.
BalasHapusDgn memahami jika ada sesuatu yang telah menunggu dibalik 'tikungan'jalan. Bahwa no matter what, mau kita hindari atau nggak, sesuatu itu akan tetap disana, dibalik tikungan itu.
Dengan menerima, tanpa memperhitungkan atau mencoba menerka bahwa sesuatu kejadian itu bakal terjadi atau enggak, itu akan membuat mu memiliki suatu perasaan 'menerima' Sehingga kita mampu merasa 'prepare' terhadap apapun yang bakal terjadi dalam hidup ini, mau masalah nggak penting sampai masalah yang paling berat sekalipun.
Semoga Papa diberi kesembuhan...
nice post :)
Setuju. Kontribusi kita diukur dari seberapa gigih kita berusaha mengerahkan seluruh kemampuan kita, bukan dibandingkan dengan orang lain.
BalasHapus@ Mbak Tisti Rabbani:
BalasHapusSependapat,Mbak. Tapi, yang dimaksud prepare, itu yang bagaimana? Siap menyerah dengan kesakitan, atau prepare dengan kemampuan agar batu-batu tajam yang menunggu di tikungan sana, menjadi bagaikan kerikil belaka? Terimakasih Mbak ... Juga doa-nya untuk Papa.
@Bang Muchlisin:
BalasHapusSetuju ya Bang? Diukur dengan kemampuan kita hari ini ya, Bang? Besok pagi kemampuan kita bertambah, khan? Day to day ...
Hidup hanya sekali ...sepuluh tahun atawa seratus tahun hitungannya tetap sekali.
BalasHapusMari buat ia berarti.
Lama dan berarti, jelas lebih baik!
BalasHapus@ Kabasaran Soultan
BalasHapus@ Almaendah
Hmmm..ijinkan Whienda menggaris bawahi "berarti".
Namun...kayaknya ... berusaha hidup berarti bahkan lebih sulit dibanding sekadar berusaha agar panjang umur!
hidup adalah menantang kehidupan itu sendiri, bagaimana caranya menaklukkan kehidupan, tentunya bukan dengan cara bunuh diri, atau meninggalkannya. tugas manusia lahir adalah menantang dan berenang di lautan kehidupan, tidak boleh kandas hingga pada pelabuhan berikutnya, sebuah pelabuhan campuran antara kemenangan dan kesetiaan diri pada kehidupan, yang menjadi tumpuan sekaligus bekal menuju ke sana.
BalasHapusKlo saya, hidup itu mesti dijalani santai. hehehehe. :)]
BalasHapusOponiku : Hidup adalah perjuangan, seberapa besar perjuangan kita, Perjuangan dalam belajar, bekerja, beribadah dll. itulah nilai kita dihadapan Sang Khalik dan dihadapan sesama.
BalasHapuskita hanya sebagai wayang mau panjang atau pendek yang penting berarti
BalasHapus@suryaden:
BalasHapus"Tugas manusia lahir adalah menantang dan berenang di lautan kehidupan"
Berenang ke pelabuhan yang satu ke pelabuhan berikutnya, dan berusaha tidak tenggelam hingga pelabuhan terakhir ..di sana! Gitu, ya Bang?
@andi8lumut:
BalasHapusHidup yang santai? Kayaknya untuk bisa hidup kaya gini perlu kemampuan tinggi, ya Bang? Khan banyak masalah yang sering kali sulit kita selesaikan?
@suwung:
Yang penting berarti! Bermakna bagi diri sendiri dan orang lain. Setuju! Walau itu tidak mudah. Lebih sulit lagi jika umur kita pendek.
@Bang Seno:
BalasHapus"Hidup adalah perjuangan ... ... itulah nilai kita dihadapan Sang Khalik dan dihadapan sesama."
Perjuangan memberi makna hidup untuk dipertanggungjawakan kepada Yang Memberi kita hidup. Gitu ya, Bang?
jadi inget kakanya arif budiman... si soe hoek gie
BalasHapuscita citanya mati muda